A’dinging-dinging merupakan ritual prosesi budaya yang
dilaksanakan oleh masyarakat di kampung Tenro Desa Bontolempangan Kecamatan
Buki Kabupaten Kepulauan Selayar. Prosesi a’dinging-dinging ini sendiri sudah
ada sejak ratusan tahun lalu, bahkan sebelum kampung Tenro berubah nama.
Dulunya kampung Tenro dikenal dengan nama Bo’di Butungia di mana pemegang
kekuasaan pada saat itu disebut dengan Sebutan Bakka’ (Pemerintah).
Prosesi a’dingin-dinging dilaksanakan sebagai bentuk
rasa syukur masyarakat kampung Tenro atas kemenangan yang diraih oleh
orang-orang terdahulu yang sangat berjasa dalam mempertahankan kekuasaan Bakka’
Tenro. A’dinging-dinging sendiri dilaksanakan dengan beberapa tahapan yaitu
songkabala (tolak bala) pada 10 Muharram, anrajo-rajo, ngalle je’ne’
(pengambilan air), a’bua’ je’ne’ (pembuatan air), anrio-rio’ (mandi-mandi)
kemudian diakhiri dengan a’limbo (makan bersama).
Ritual songkabala (tolak bala) dilaksanakan pada
tanggal 10 Muharram dan diyakini oleh masyarakat Tenro bahwa dengan
melaksanakan songkabala (tolak bala) maka akan terhindar dari marabahaya,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh masyarakat terdahulu ketika mendengar
kabar bahwa Bassi La’ba’ (nama
pemegang kekuasaan Gowa) akan datang
untuk merebut kekuasaan Bakka’ Bo’di
Butungia (pemegang kekuasaan kampung
Tenro) pada saat itu. Songkabala dilakukan dengan pembacaan doa oleh 5 orang
tokoh agama dan tokoh adat bersama dengan warga masyarakat. Satu orang berada
di tengah sebagai pemimpin songkabala dan 4 lainnya masing-masing berada di
sudut. Pemimpin songkabala (tolak bala) yang di tengah menggambarkan Nabi
Muhammad SAW, sedangkan 4 orang lainnya menggambarkan sahabat nabi yaitu, Abu
Bakar As- Siddiq, Usman bin Affan, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib.
Setelah melaksanakan songkabala, maka masyarakat
kampung Tenro dituntut untuk melaksanakan anrajo-rajo
selama tiga hari berturut-turut sebelum hari H. Anrajo-rajo merupakan ziarah
kubur ke makam leluhur yang dianggap berjasa bagi kampung Tenro atau lebih
dikenal dengan istilah to pattasayya
kampong dan diiringi dengan iringan gendang (ganrang). Ziarah makam ini dilakukan sebagai tanda penghormatan dan
penghargaan atas jasa-jasa para leluhur kampung Tenro, sama halnya dengan penghormatan
pada pahlawan yang dilakukan setiap tanggal 17 Agustus. Adapun tempat yang
menjadi pusat pada proses anrajo-rajo yaitu makam Dellempangan yang terletak di
ujung kampung Tenro, kemudian tidak jauh dari makam Dellempangan ada makam yang
diyakini oleh masyarakat bahwa makam tersebut adalah makam ipar dari
Dellempangan yang juga menjadi pusat ziarah pada proses anrajo-rajo. Makam selanjutnya
yang dikunjungi setelah makam Dellempangan dan iparnya adalah makam Bakka’
Tenro yang letaknya sekitar tiga meter dari makam ipar Dellempangan. Di samping
mengunjungi makam ada juga tempat-tempat yang diyakini oleh masyarakat setempat
sebagai tempat sakral yang dikenal dengan istilah possi’ tanah (pusar bumi)
yang letaknya berada di tengah-tengah kampung. Kemudian tempat yang terakhir
dikunjungi pada proses anrajo-rajo adalah batas tanah adat kampung Tenro yang
terletak di ujung kampung tepatnya di samping masjid Hablumminannas.
Proses selanjutnya yang dilakukan setelah melakukan
prosesi anrajo-rajo adalah ngalle je’ne (pengambilan air). Prosesi pengambilan
air dilakukan oleh 11 orang. Sembilan orang perempuan, 1 orang sebagai
pelaksana ritual pengambilan air, 1 orang sebagai pembawa perlengkapan ritual
atau dikenal dengan istilah pa’dupa, 7 orang pembawa bengki (kendi) sebagai
wadah penampungan air dan 2 orang anak laki-laki yang bertugas sebagai penabuh
gendang. Irama labuhan gendang mengiringi tanpa henti selama perjalanan dan
proses ritual pengambilan air. Setelah ketujuh
bengki (kendi) terisi, maka kendi dijunjung oleh pembawa kendi dan
selama perjalanan tidak diperbolehkan
mengeluarkan sepatah kata pun sampai air dalam kendi tersebut disemayamkan.
Proses pengambilan air ini (ngalle je’ne’) hanya bisa dilakukan di satu sumur
yang mempunyai kesakralan tersendiri dan diyakini oleh masyarakat setempat
bahwa sumur tersebut masih bagian dari aliran sumur yang ada di kampung Tenro
yang terletak di samping makam Bakka’ Tenro. Sumur yang selama ini dijadikan
tempat pengambilan air untuk proses a’dinging-dinging dikenal dengan sumur latea yang terletak di dusun Tanabau
Desa Bontolempangan Kecamatan Buki.
Pada malam hari (malam senin) proses a’bua’ je’ne’(pembuatan air) dilaksanakan dengan membacakan doa-doa terhadap air dalam bengki (kendi) yang telah diambil dari sumur latea pada sore harinya. Pada proses a’bua’ je’ne’ juga dilaksanakan proses attaralu’ yaitu proses ritual yang dilakukan oleh 5 atau 7 orang perempuan yang mengelilingi air dalam kendi dengan melantunkan nyanyian yang dikenal dengan “kelong opu” sebanyak 7 kali. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kesakralan air yang akan digunakan keesokan harinya.
Keesokan harinya (senin) adalah prosesi puncak yaitu a’dinging-dinging (mandi-mandi). Sebelum dilaksanakan anrio-rio terlebih dahulu dilaksanakan kembali anrajo-rajo yaitu dengan mendoakan dan mengitari makam dengan lantunan “kelong opu” kemudian warga masyarakat berkumpul di possi’ tanah (pusar bumi), di mana air dalam kendi diletakkan di possi’ tanah beralaskan daun pisang dan siap digunakan pada proses anrio-rio (mandi-mandi). Setiap orang membacakan doa-doa terhadap air dalam kendi yang diletakkan di hadapan mereka beserta beberapa jenis makanan tradisional, yaitu katupa’ kalasa dan onde-onde. Kemudian dilanjutkan dengan acara a’si’bo’(siram air) dan siapa saja yang lewat pada saat itu maka akan disiram oleh masyarakat sekalipun pejabat-pejabat tinggi. Setelah acara si’bo’ selesai maka dilanjutkan dengan acara a’limbo (makan bersama). Setiap warga membawa makanan ke tempat anrio-rio untuk dimakan secara bersama-sama oleh masyarakat. Ini dilakukan oleh masyarakat kampung Tenro sebagai sebagai rasa syukur dan untuk mempererat tali silaturahmi antar sesama masyarakat kampong Tenro. Setelah acara a’limbo (makan bersama) selesai, biasa dirangkaikan dengan acara a’tojeng, a’manca dan a’dide’.
Komentar
Posting Komentar